Kelemahan Dunia Pendidikan di Indonesia
Dadan Rusmana
Perlu diakui bahwa dunia pendidikan di Indonesia masih memiliki beberapa kelemahan. Beberapa tulisan di bawah ini menunjukkan bahwa setidaknya ada tiga kelemahan wajah pendidikan kita, yakni 1) Kecerdasan Terlalu diutamakan, Pengabaian terhadap Pendidikan Akhlak, 2) orientasi pada dunia kerja yang berlebihan, namun tidak memiliki standar komptensi kerja, atau tidak memiliki link and match, 3) Pengembangan pendidikan kita tidak didasarkan pada riset yang proporsional, dan 4) desentralisasi atau otonomi daerah yang tidak berjalan sesuai dengan standar.
----
'Kecerdasan Diangungkan, Pendidikan Akhlak Diabaikan
Pada
tulisan sebelumnya disebutkan bahwa ukuran keberhasilan pendidikan
adalah 1) peningkatan kualitas hidup peserta didik, 2) Keberterimaan
masyarakat karena perilaku individual dan sosial peserta didik yang
sesuai norma dan bermanfaat, serta menjadi warganegara yang baik, 3)
kemampuan untuk melakukan studi lanjut karena prestasi akademik yang
proporsional, 4) kemampuan untuk beradaptasi di dunia kerja karena
memiliki skill yang proporsional, 5) mendapatkan kebahagiaan hakiki.
Melihat pada indikator keberhasilan pendidikan di atas, pendidikan di Indonesia baru memberikan kontribusi pada aspek nomor 3 dan 4. Sedangkan aspek-aspek lainnya terabaikan atau mendapatkan proporsi yang sedikit. Pada realitasnya, pendidikan di Indonesia lebih mengorientasikan pada pendidikan pada aspek kepintaran atau kecerdasan intelektual saja. Indikatornya adalah kecerdasan siswa banyak diukur pada upayanya untuk menghapal dan menguasai berbagai pengetahuan, terutama pada ilmu-ilmu eksakta, atau lebih menekankan pada aspek kognitif saja. Sedangkan aspek aplikasi atau afektif dan psikomotor diabaikan. Hal lain yang diabaikan adalah aspek pembentukan karakter (akhlak) peserta didik. Karenanya, dapat dikatakan, bahwa pendidikan formal di Indonesia, telah berupaya untuk melakukan "fabrikasi orang-orang cerdas", dibanding pembentukan "orang-orang baik".
Melihat pada indikator keberhasilan pendidikan di atas, pendidikan di Indonesia baru memberikan kontribusi pada aspek nomor 3 dan 4. Sedangkan aspek-aspek lainnya terabaikan atau mendapatkan proporsi yang sedikit. Pada realitasnya, pendidikan di Indonesia lebih mengorientasikan pada pendidikan pada aspek kepintaran atau kecerdasan intelektual saja. Indikatornya adalah kecerdasan siswa banyak diukur pada upayanya untuk menghapal dan menguasai berbagai pengetahuan, terutama pada ilmu-ilmu eksakta, atau lebih menekankan pada aspek kognitif saja. Sedangkan aspek aplikasi atau afektif dan psikomotor diabaikan. Hal lain yang diabaikan adalah aspek pembentukan karakter (akhlak) peserta didik. Karenanya, dapat dikatakan, bahwa pendidikan formal di Indonesia, telah berupaya untuk melakukan "fabrikasi orang-orang cerdas", dibanding pembentukan "orang-orang baik".
"Dunia Pendidikan Butuh Standar Kompetensi Kerja"
Sudah menjadi kenyataan jika terdapat kesenjangan yang sangat besar
antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. Akibatnya, apa yang menjadi kebutuhan
dunia kerja (industri) seringkali tidak dapat dipenuhi dunia pendidikan. "Link and match dunia pendidikan dengan dunia kerja bisa terjadi
jika terdapat sebuah jembatan bernama standar kompetensi kerja," ujar
Kepala Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), Adjat Daradjat, Kamis (22/9/2011). Negara, melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2004 telah membentuk BNSP sebagai
satu-satunya lembaga independen yang diberikan otoritas penuh untuk
melaksanakan proses sertifikasi kompetensi kerja secara nasional. Salah
satu di antara sejumlah misi BNSP adalah mempercepat pelaksanaan sertifikasi di
berbagai sektor industri di Indonesia seperti manufaktur, pariwista,
konstruksi, kesehatan, perbankan, keuangan, perdagangan, distribusi,
perhutanan, pertanian, perkebunan, perikanan, perhubungan, pertambangan, dan
jasa-jasa.
Menurut Adjat, perkembangan dunia pendidikan tidak mungkin mengimbangi
perkembangan dunia kerja karena kebutuhan pasar kerja sangat
radikal. "Meskipun saat ini dunia pendidikan sudah menerapkan
kurikulum berbasis kompetensi, tetap saja tidak akan bisa mengimbangi dinamika
dunia kerja. Lagipula dunia pendidikan itu tidak menghasilkan lulusan yang siap
kerja, melainkan lulusan siap latih," kata Adjat.
BNSP, kata Adjat,
sejauh ini sudah melakukan beberapa tindakan proaktif dengan cara masuk ke
perguruan-perguruan tinggi. "Kami sudah memberikan sejumlah kurikulum
tambahan di beberapa perguruan tinggi. Hasilnya kami telah memberikan
sertifikasi kepada lebih dari satu juta orang," katanya. Ia mengatakan,
satu juta memang bukan angka yang sedikit, akan tetapi dengan jumlah tenaga
kerja di Indonesia yang berjumlah 116 juta orang tentu masih jauh panggang dari
api jika ingin memberikan sertifikasi kerja kepada seluruh tenaga kerja
tersebut.
Maka dari itu,
lanjut Adjat, dalam melakukan proses sertifikasi tersebut BNSP bekerjasama
dengan berbagai Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang dibentuknya, beragam
asosiasi industri atau organisasi pengguna SDM yang ada di tanah air, sejumlah
organisasi kemasyarakatan yang peduli dengan pengemabangan kualitas SDM, serta
segenap pemangku kepentingan lainnya. Adjat menargetkan di masa depan, para
lulusan sekolah, baik perguruan tinggi maupun Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),
yang hendak bekerja memiliki double degree, yakni jazah pendidikan terakhir dan
sertifikat kompetensi.
Sebagai bentuk
apresiasi terhadap berbagai pihak yang secara langsung maupun tidak langsung
telah membantu BNSP dalam menjalankan misi dan tugas utamanya, secara berkala
BNSP melaksanakan sebuah program yang bernama BNSP Competency Award. Tahun ini
penganugerahan tersebut akan dilaksanakan pada 25 November nanti dengan bentuk
penghargaan berupa penobatan menjadi Duta Kompetensi Kerja
Indonesia.
PKS: Pantas Pendidikan tidak Maju-Maju, Kebijakan tidak Berdasarkan
Riset
Anggota Komisi X
(Pendidikan, Olahraga dan Kebudayaan) Fraksi PKS Rohmani mengatakan, pemerintah
terkesan coba-coba dalam setiap kebijakan, salah satu contohnya adalah
penyaluran dana bantuan operasional sekolah yang dikeluarkan oleh Kementerian
Pendidikan Nasional. "Sejak adanya dana bantuan operasional sekolah (BOS)
pemerintah kerapkali mengubah tata cara penyaluran dana BOS itu," katanya
dalam penjelasan melalui surat elektronik di Jakarta, Jumat (19/8/2011). Rohmani
mengatakan bahwa hal tersebut adalah bukti bila kebijakan Kementerian
Pendidikan Nasional (Kemdiknas) masih coba-coba. Ia mengemukakan bahwa
seringkali kebijakan yang menyangkut kepentingan jutaan generasi bangsa
dilakukan dengan coba-coba.
Pemerintah
dinilainya tidak serius memikirkan setiap kebijakan yang hendak dikeluarkan.
"Seharusnya pemerintah dalam membuat setiap kebijakan harus
mempertimbangkan dampak negatifnya, dan juga harus mempertimbangkan kondisi
sosologis dan tata aturan perundang-undangan," katanya. "Kebijakan
pemerintah belum berdasarkan hasil riset. Bukan kajian yang matang, ini yang
membuat pendidikan kita tidak maju-maju. Dari dulu, begitu-begitu saja. Bisa
jadi, malah mundur. Karena pemangku kebijakan tidak serius bekerja,"
tambah Rohmani.
Menurut dia,
penyaluran dana BOS sejak 2005-2010 yang dilakukan melalui Kemdiknas ke
rekening sekolah-sekolah. Kemudian, pada yahun 2011 penyalurannya langsung dari
bendahara negara Kementerian Keuangan ke kas umum kabupaten/kota melalui APBD. Namun,
pada pelaksanaannya terjadi masalah dalam pencairan, sehingga terjadi
keterlambatan pencairan. Sedangkan tahun 2012, katanya, pemerintah berencana
akan melakukan pencairan melalui pemerintah provinsi. "Jika tahun depan
diubah lagi, maka pemerintah sudah tiga kali mengubah prosedur pencairan dana
BOS. Jika gagal lagi, maka pemerintah terbukti coba-coba mengurus
pendidikan," katanya. "Kita tidak mempermasalahkan pemerintah
mengubah kebijakannya, yang menjadi perhatian kita adalah jangan sampai
kebijakan yang dibuat tanpa pertimbangan dan kajian yang matang. Jika ini yang
terjadi pengelola sekolah bingung, belum paham kebijakan yang satu sudah
terjadi perubahan lagi. Idealnya kebijakan yang baik itu harus bersifat jangka
panjang," kata Rohmani.
Kualitas Pendidikan Turun Gara-gara Otonomi Daerah?
Sepuluh tahun
pasca-pemberlakuan otonomi daerah, kualitas pendidikan secara nasional
mengalami penurunan, kata Anggota Komisi X DPR RI Popong Otje Dundjunan, Rabu,
di Bogor. "Pemberlakuan otonomi daerah menyebabkan turunnya kualitas
pendidikan. Hal tersebut ditunjukkan dengan turunnya peringkat pendidikan
Indonesia dalam skala global," papar Popong Otje Djundjunan saat mengikuti
Lokakarya Desentralisasi Pendidikan yang diselenggarakan Balitbang Kemdikbud,
Senin - Rabu.
Popong Otje
Djundjunan merujuk pada data yang dilansir oleh UNESCO pada akhir 2007 atau
enam tahun setelah diberlakukannya UU otonomi daerah, peringkat Indonesia di
bidang pendidikan turun dari peringkat 58 menjadi 62 dari 130 negara di dunia. "Enam
tahun setelah otonomi daerah diberlakukan, Indonesia mengalami penurunan hingga
empat peringkat di bidang pendidikan," tutur wanita asal Kota Bandung ini.
Popong mengungkapkan, indeks pembangunan pendidikan Indonesia hanya 0,935 di
bawah Malaysia (0,945), dan Brunei Darussalam (0,965).
Sementara itu,
indeks permbangunan manusia menyebutkan bahwa Indonesia saat ini berada masih
pada posisi 110 dari 175 negara di dunia. "Rendahnya mutu pendidikan tidak
dipengaruhi faktor tunggal. Ada sejumlah variabel yang saling terkait dan
berhubungan. Salah satunya desentralisasi pendidikan. Karena itu perlu
dilakukan kajian menyeluruh untuk mengatasi berbagai hambatan yang menyebabkan
penurunan mutu pendidikan kita," ujarnya. Popong menegaskan, secara
prinsip dirinya sangat setuju dengan konsep desentralisasi pendidikan, karena
ada banyak harapan perbaikan dan peningkatan mutu yang bisa dikejar.
Namun mengingat
banyaknya hambatan dan persoalan yang berkembang, desentralisasi perlu dikaji
ulang, agar bisa dilakukan perbaikan demi kemajuan pendidikan ke
depan."Perlu adanya pembagian tugas dan peran yang jelas antara kewenangan
pusat dengan daerah di bidang pendidikan. Desentralisasi perlu disempurnakan
dengan mengadopsi hal-hal positif dari konsep sentralisasi," terangnya.
Terkait dengan
evaluasi otonomi daerah, nada serupa disampaikan pula oleh Mantan Menteri Otonomi Daerah Prof
Ryaas Rasyid menegaskan, setelah 11 tahun otonomi daerah dilaksanakan di
Indonesia harus dilakukan evaluasi sejauh mana efektivitas penerapannya selama
ini. "Otonomi daerah (Otda) ini memang perlu dievaluasi karena janji saya
dulu ke DPR bahwa setelah 10 tahun, perlu evaluasi kembali sejauh mana
efektifitas dari penerapannya," ujarnya di Jakarta, Selasa (15/11/2011).
Pada evaluasi itu, menurut dia, perlu dilihat dimana saja kekurangan implementasi
otda dan mana yang masih perlu dikembangkan lagi agar otda mampu mempercepat
pembangunan daerah atau memberi kesejahteraan pada rakyat.
Sebelumnya, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Marzuki
Alie, menilai, penerapan otonomi daerah memicu politisasi sektor pendidikan
yang mengakibatkan pendidikan di daerah sulit berkembang. "Sebenarnya ada
dua aspek otonomi daerah yang memengaruhi sektor pendidikan yakni aspek
politis, seringnya tenaga guru menjadi korban politisasi elite di daerah, dan
aspek teknis," katanya di Semarang, Selasa (12/7/2011). Hal itu
diungkapkannya usai seminar bertema 'Mampukah Otonomi Pendidikan Mendorong
Peningkatan Daya Saing Bangsa Pada Era Globalisasi' yang diprakarsai Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) PGRI Semarang. Ia mengemukakan, politisasi
pendidikan di daerah memang tidak bisa terhindarkan dalam penerapan otonomi
daerah, terutama saat pemilihan kepala daerah (pilkada) yang menjadikan
pendidikan sebagai objek politik di daerah.
Ia mencontohkan, penetapan kepala Dinas Pendidikan oleh
kepala daerah yang seringkali tanpa didasarkan kapabilitas seseorang, namun
hanya karena memiliki kedekatan secara politik dengan elite di daerah.
"Akibatnya, pendidikan dikelola secara sembarangan karena orang yang
berada di pucuk pimpinan bukan orang yang memahami tugasnya, penerimaan guru
dengan kolusi dianggap umum, dan akreditasinya tidak jelas," katanya. Secara
teknis, katanya, dampak otonomi daerah juga menjadikan sektor pendidikan tak
berkembang, sebab pemerintah daerah bisa saja tidak memenuhi tanggung jawab dalam
pengalokasian dana pendidikan secara tepat. "Anggaran pendidikan 20 persen
dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) akhirnya belum dapat
diimplementasikan secara seimbang dan tepat di daerah," kata Marzuki yang
juga Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu.
Karena itu, katanya, muncul gagasan sentralisasi
pendidikan di tengah kebijakan otonomi daerah sekarang ini, atau setidaknya
sentralisasi atas tenaga pengajar untuk menghindari politisasi pendidikan di
daerah. "Namun, kalau pendidikan disentralisasi ke pusat, maka kemungkinan
terjadi politisasi dalam tataran lebih tinggi bisa saja terjadi. Ini juga
nantinya tidak baik bagi perkembangan sektor pendidikan," katanya. Ia
mengemukakan, solusi terbaik dalam mencegah politisasi dalam sektor pendidikan
di daerah sebenarnya tidak perlu dengan sentralisasi pendidikan ke pusat,
karena pendidikan cukup ditangani di tingkat daerah. "Akan tetapi, kepala
daerah jangan dipilih secara langsung, namun dipilih melalui DPRD. Kalau
otonomi pendidikan diiringi dengan sistem pilkada langsung, sama saja,
politisasi tetap akan terjadi," katanya.
Pakar pendidikan H.A.R. Tilaar yang juga menjadi pembicara
seminar itu mengatakan, manajemen pendidikan nasional saat ini cenderung
mengikuti paham neoliberalisme yang jelas bertentangan dengan UUD 1945.
"Manajemen pendidikan nasional perlu membuka diri atas perubahan-perubahan
global, namun harus tetap berpijak pada kepentingan rakyat, yakni meningkatkan
taraf hidup dan mencerdaskan kehidupannya," katanya.
Sumber:
- http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/11/30/lvheiq-kualitas-pendidikan-turun-garagara-otonomi-daerah
- http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/11/15/luoynu-perlu-evaluasi-menyeluruh-implementasi-otonomi-daerah
- http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/berita-pendidikan/11/07/12/lo7ziu-ketua-dpr-otonomi-daerah-picu-politisasi-pendidikan
- http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/berita-pendidikan/11/08/19/lq60p0-pks-pantas-pendidikan-tidak-majumaju-kebijakan-tidak-berdasarkan-riset
Komentar
Posting Komentar
Terimakasih